Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sains Dalam Teknologi Nuklir

 Sains dan teknologi fusi nuklir mengkhususkan diri dalam observasi lingkungan fusi nuklir dalam skala ekstrem. Lingkungan ini memiliki suhu yang sangat tinggi, fluks partikel, iradiasi neutron, dan kondisi keras lainnya.

Membantu Industri Nuklir

Nuclear Fusion Power Could Be Here By 2030, One Company Says ...


Penelitian sains dan teknologi fusi mencakup pemeriksaan desain dan bahan untuk perangkat daya fusi di masa depan. Ini juga mencakup teknologi baru dan sistem yang terintegrasi guna menghasilkan listrik dari reaksi fusi, pembiakan tritium (bahan bakar reaksi fusi), suhu tinggi superkonduktor dalam rekayasa magnet, dan pembuangan gas yang sangat panas yang dilepaskan saat reaksi fusi berlangsung.

Selain itu, kaidah ilmu fusi nuklir mengatasi tantangan terkait dengan keselamatan dan keamanan energi fusi itu sendiri. Misalnya, konsep fusi nuklir sedang di evaluasi bagaimana memastikan pasokan atau ketersediaan bahan bakar tritium dan bagaimana membangun pembangkit listrik fusi yang dapat dioperasikan dengan aman meskipun dalam kondisi panas dan tekanan yang sangat tinggi.

Dalam percobaan baru, Joint European Torus (JET) di Culham dekat Oxford, Inggris, menghasilkan plasma yang sangat panas. Plasma ini mampu melepaskan energi 59 megajoule yang memecahkan rekor energi terbesar di Bumi. Jika dikonversi, energi itu setara dengan yang dilepaskan oleh ledakan seberat 14 kilogram TNT.

Menurut International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER), telah lama fisikawan nuklir mencoba menghasilkan fusi nuklir melalui reaktor di Bumi karena energi yang dihasilkan jauh lebih banyak dari bahan bakar fosil. Misalnya, energi sebesar 10.000 ton batu bara dapat dihasilkan hanya dengan jumlah atom hidrogen yang seukuran nanas. Magnet ITER menggunakan kabel dari bahan superkonduktor, timah niobium, yang jika digabungkan berukuran lebih dari 100.000 kilometer (60.000 mil). Dan jika di bentangkan, cukup untuk melingkari dua kali khatulistiwa bumi. Amerika Serikat sedang mengembangkan teknologi fusi nuklir utama termasuk metode penggunaan magnet untuk menampung fusi dan bahan khusus yang dapat bertahan lama terhadap kondisi fusi dengan suhu yang ekstrem.

Eksperimen baru di JET itu dirancang untuk membuka jalan bagi misi ITER, yang bertujuan menciptakan pabrik fusi nuklir pertama di dunia.“Kami membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkan eksperimen ini. Dan pada akhirnya kami berhasil mengkonfirmasi prediksi dan model kami,” kata Athina Kappatou, fisikawan di Institut Fisika Plasma Max Planck di Garching, Jerman, "Itu kabar baik dalam perjalanan (misi) ke ITER."

JET, yang mulai beroperasi pada 1983, kini menggunakan isotop hidrogen deuterium dan tritium sebagai bahan bakar. Sementara atom hidrogen normal memiliki satu neutron di intinya, atom deuterium memiliki dua neutron dan atom tritium memiliki tiga. Saat ini, JET adalah satu-satunya pembangkit listrik di dunia yang mampu beroperasi dengan bahan bakar deuterium-tritium, meskipun ITER juga akan menggunakannya kelak.

Isotpes of Hydrogen

Eksperimen sebelumnya mendapati bahwa dari semua bahan bakar yang mungkin dapat memicu fusi nuklir, hanya kombinasi deuterium dan tritium yang paling gampang menyatu pada suhu terendah. Fusi deuterium-tritium juga diperkirakan akan melepaskan energi yang cukup, tetapi di bawah kondisi yang dapat dicapai secara realistis untuk menciptakan surplus listrik. Meski begitu, penggunaan fusi deuterium-tritium tetap memiki beberapa tantangan.

Misalnya, fusi deuterium-tritium dapat menghasilkan sejumlah neutron energi tinggi yang berbahaya. Masing-masing neutron mampu bergerak dengan kecepatan sekitar 187 juta km/jam atau setara 17,3 persen kecepatan cahaya. Itu sangat cepat sehingga dapat sampai di bulan dalam waktu kurang dari 8 detik. Oleh karenanya, eksperimen tersebut sangat diperlukan pelindung khusus

Untuk percobaan baru, JET mengganti lapisan reaktornya dari karbon menjadi campuran berilium dan tungsten pada 2009 dan 2011. "Dinding logam baru ini lebih tahan terhadap tekanan fusi nuklir daripada karbon, dan juga menempel pada lebih sedikit hidrogen daripada karbon," jelas Kappatou.

"Pemasangan dinding baru membutuhkan ketelitian dan perawatan yang tinggi. Sebuah lengan robot besar dengan remote control digunakan untuk perawatan ini," kata Kappatou.

Tantangan lain dengan eksperimen fusi deuterium-tritium adalah fakta bahwa tritium bersifat radioaktif, sehingga memerlukan penanganan khusus. Namun, Kappatou mengatakan, JET memiliki pengalaman menangani tritium pada tahun 1997.

Nuclear fusion reaction of Deuterium and Tritium


Tantangan lainnya, tritium sangat jarang, tidak seperti deuterium yang banyak tersedia di air laut. Untuk saat ini, tritium diproduksi di reaktor fisi nuklir, dimana saat sudah biasa dipalikasikan dalam bentuk senjata maupun pembangkit listrik. Ke depan, pembangkit listrik fusi diprediksi mampu memancarkan neutron untuk menghasilkan bahan bakar tritium sendiri.

JET sebelumnya berhasil mencapai rekor dunia untuk energi yang dihasilkan dari fusi nuklir. Pada tahun 1997 mereka menemukan plasma yang menghasilkan energi 22 megajoule. Sementara pada rekor terbaru, menghasilkan plasma dengan energi lebih dari dua kali lipat hanya dengan 170 mikrogram (6/1.000.000ons)bahan bakar deuterium-tritium.

"Sebagai perbandingan, memproduksi energi panas sebanyak itu membutuhkan 1,06 kilogram gas alam atau 3,9 kilogram batu bara lignit," kata Kappatou.

Posting Komentar untuk "Sains Dalam Teknologi Nuklir"