Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Sains Mencari Tuhan II

   Sebuah penelitian yang diikuti oleh beberapa ilmuwan amerika dan dirilis pada tahun 1997 menunjukkan bahwa 40 persen ilmuwan Amerika percaya pada konsep Tuhan personal – bukan hanya intervensi maupun manifestasi yang tak teridentifikasi dalam alam makro, tetapi dewa yang juga dapat mereka harapkan.


Trinity gods of Hinduism

   Bagi Joel Primack, astrofisikawan di University of California, Santa Cruz, "mempraktikkan sains [bahkan] memiliki tujuan spiritual" – yaitu, bisa memberi inspirasi. Ternyata, Primack menerangkan, bahwa ukuran terbesar yang dapat diukur di seluruh alam semesta ini adalah 10 dengan 29 nol setelahnya (dalam cm). Entitas terkecil menggambarkan dunia subatomik, dan 10 dengan 24 nol (dan desimal) di depannya. Manusia berada tepat di tengah.. Apakah ini mengembalikan kita ke tempat yang khusus? Primack tidak tahu, tapi dia menggambarkan ini sebagai "kosmologi yang memuaskan spiritualitas."

   Meskipun para ilmuwan skeptis terus menggerutu bahwa sains tidak membutuhkan eksistensi agama dalam setiap konserfasinya, para teolog yang punya pandangan ke depan berpikir bahwa agama butuh sains. Agama "tidak mampu membuat klaim moralnya secara persuasif atau tempat spiritualnya efektif [kecuali] klaim kognitifnya" kredibel, kata fisikawan-teolog Russell.

   Meskipun lebih dari 90 persen orang Amerika percaya pada Tuhan personal dan lebih sedikit yang percaya pada Tuhan yang membelah lautan atau menciptakan spesies satu per satu. Agar agama yang diyakini seluama ribuan tahun lalu tersebut,, relevan pada zaman atom dan DNA, beberapa teolog "memasukkan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu alam dalam membentukan keyakinan doktrinal," kata Ted Peters dari Pacific Lutheran Seminary. Jika tidak, kata astronom dan pendeta Yesuit William Stoeger, agama berada dalam bahaya dalam kacamata orang-orang yang bahkan minim pemahaman tentang sains, "sebagai anakronisme."

   Sains tidak bisa membuktikan keksistensi Tuhan hanya dengan mengandalkan hasil observasinya di ujung lensa teleskop. Tetapi bagi sebagian orang percaya, dengan mencoba memahami cara kerja alam semesta menawarkan petunjuk tentang sifat keTuhanan.

   Seperti yang dikatakan W. Mark Richardson dari Center for Theology and the Natural Sciences, "Ilmu pengetahuan mungkin tidak berfungsi sebagai saksi mata dari Tuhan sang pencipta, tetapi dapat berfungsi sebagai saksi karakter." Satu tempat untuk melihat karakter Tuhan, ironisnya, adalah dalam cara kerja evolusi.

   Arthur Peacocke, seorang ahli biokimia yang menjadi pendeta di Gereja Inggris pada tahun 1971, tidak menentang evolusi. Sebaliknya: ia menemukan di dalamnya tanda-tanda sifat Tuhan. Dia menyimpulkan, dari evolusi, bahwa Tuhan telah memilih untuk membatasi kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya. Dengan kata lain, kemunculan mutasi kebetulan, dan hukum seleksi alam Darwinian yang bertindak atas "variasi" inilah yang menghasilkan keragaman kehidupan di Bumi.

   Proses ini menunjukkan kerendahan hati ilahi, Tuhan yang bertindak tanpa pamrih demi kebaikan ciptaan, kata teolog John Haught, yang mendirikan Pusat Studi Sains dan Agama Georgetown (Universitas). Dia menyebut ini sebagai "retret rendah hati di pihak Tuhan": seperti halnya orang tua yang penuh kasih membiarkan seorang anak menjadi, dan menjadi, dengan bebas dan tanpa gangguan, demikian pula Tuhan membiarkan ciptaan membuat dirinya sendiri.

   Terasa berlebihan jika mengatakan bahwa pola pikir teologis yang canggih seperti itu sedang memperbaharui agama di tingkat paroki, masjid, atau sinagoga setempat. Tetapi beberapa dari ide-ide ini beresonansi dengan para penyembah dan pendeta biasa.

   Bagi Billy Crockett, presiden Walking Angel Records di Dallas, penemuan mekanika kuantum yang dia baca di koran memperkuat keyakinannya bahwa "ada banyak misteri dalam sifat segala sesuatu." Bagi orang percaya lainnya, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan memperdalam iman. “Ilmu pengetahuan menghasilkan kekaguman yang luar biasa dalam diri saya,” kata Suster Mary White dari Pusat Meditasi Benediktin di St. Paul, Minn. “Ilmu pengetahuan dan spiritualitas memiliki pencarian yang sama, yaitu pencarian akan kebenaran.

   Dan jika sains belum terlalu berpengaruh dalam pemikiran dan praktik keagamaan di tingkat akar, tunggu saja, kata Ted Peters dari CTNS. Sama seperti feminisme menyelinap di gereja-gereja dan sekarang membentuk liturgi, ia memprediksi, "dalam 10 tahun mendatang
ilmu pengetahuan akan menjadi faktor penting dari sebagian banyak orang beragama yang terbiasa berpikir."

   Tidak semua orang percaya itu ide yang sangat bagus. "Sains adalah metode, bukan kumpulan pengetahuan," kata Michael Shermer, direktur Skeptics Society, yang membantah klaim paranormal. "Tidak ada yang bisa dikatakan tentang apakah Tuhan itu ada. Ini adalah dua hal yang sangat berbeda, itu seperti menggunakan statistik bisbol untuk membuktikan suatu hal dalam sepak bola." Bendera merah lainnya adalah bahwa penganut agama yang berbeda – seperti Yahudi Ortodoks, Anglikan, Quaker, Katolik, dan Muslim yang berbicara pada konferensi 1997 di Berkeley – cenderung menemukan, dalam sains, konfirmasi tentang apa yang telah diajarkan agama khusus mereka kepada mereka.

   Ambillah konsep Kristen yang sulit tentang Yesus sebagai Tuhan sekaligus manusia. Ternyata dualitas ini memiliki paralel dalam fisika kuantum. Pada tahun-tahun awal abad ini, fisikawan mendapati bahwa entitas yang dianggap sebagai partikel, seperti elektron, juga dapat bertindak sebagai gelombang. Dan cahaya, yang dianggap sebagai gelombang, dalam beberapa eksperimen dapat bertindak seperti serangkaian partikel. Penafsiran ortodoks dari situasi aneh ini adalah bahwa cahaya secara simultan adalah gelombang dan partikel. Elektron disaat yang bersamaan dapat berprilaku sebagai gelombang sekaigus partikel. Dari sisi mana seseorang mengamati cahaya dengan elektron menghadap pengamat maka akan menghasilkan perilaku sesuai keadaan pengamat.

Particle-Wave Duality Poster

   Demikian juga dengan Yesus, saran fisikawan F. Russell Stannard dari Universitas Terbuka Inggris. "Yesus tidak harus dilihat sebagai Tuhan dalam kedok manusia, atau sebagai manusia yang mencerminkan sifat ilahi.. Dia sepenuhnya keduanya." Menemukan kesejajaran ini mungkin membuat beberapa orang merasa, kata Polkinghorne, "bahwa ini bukan sekadar gagasan Kristen yang sangat aneh."

   Orang Yahudi tidak mungkin melakukan lompatan yang sama. Dan seseorang yang belum punya keyakinan yang penuh tidak akan bergabung dengan orang beriman karena mekanika kuantum; sebaliknya, seseorang yang tidak diragukan lagi oleh sains soal keimanannya mungkin lebih memilah menutup telinga. Tetapi bagi orang-orang di tengah-tengah, kepada siapa sains mengajukan pertanyaan tentang agama, konkordansi baru ini dapat memperdalam iman yang sudah ada.

   Seperti yang dikatakan Feit, "Saya tidak berpikir bahwa dengan mempelajari sains Anda akan dipaksa untuk menyimpulkan bahwa Tuhan itu pasti ada. Tetapi jika Anda telah menemukan sifat keTuhanan, maka Anda dapat mengatakan (dari pemahaman sains) 'Ah, saya mengerti apa yang telah Tuhan rancang di alam semesta ini'."

   Di satu sisi, sains dan agama tidak akan pernah menemui titik konsolidasi. Acuan standar sains adalah keraguan abadi; inti dari agama adalah iman. Namun orang-orang yang sangat religius dan ilmuwan besar sekalipun, mereka berangkat dari terminal sama dengan tujuan ingin memahami alam semesta. Suatu ketika, sains dan agama dipandang sebagai dua cara yang berbeda secara fundamental, bahkan antagonistik, dalam mengejar pencarian itu, dan sains dituduh mencekik iman dan membunuh Tuhan. Dan meskipun tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan, namun sains ingin membisikkan kepada para penganut agama ke mana mereka harus mencari ketika ingin memahami lebih dalam akan makna dan sifat keTuhanan.

Posting Komentar untuk "Ketika Sains Mencari Tuhan II"